0

Keseimbangan Kodrat Laki-laki dan Perempuan

Minggu, 13 Mei 2012
Share this Article on :
Pergerakan kaum feminis terus bergulir seiring perjalanan waktu. Dengan kesetaraan gender sebagai asas yang harus diperjuangkan, mereka mendobrak ajaran Islam yang sudah baku. Mereka hadir bak pahlawan dengan bendera al-Qur’an dan Hadis sebagai senjata, kemudian mempresentasikannya melalui nalar dan pemahaman yang muncul dari imajinasi yang liar. Inti yang diperjuangkan hanya satu: laki-laki dan perempuan harus sama. Rupanya, untuk mendukung pemikiran ini, mereka tidak cukup dengan mengutak atik dalil agama, tetapi mulai mengais sejarah peradaban kuno dengan mengaitkan kemunculan Dewi Agung di zaman kuno. Dengan harapan menemukan pengesahan yang valid bagi teori-teori mereka tentang masa keemasan, kaum ahli prasejarah perempuan (prehistorian) mulai menengok zaman purbakala. Sebuah negeri impian feminis yang hilang karena dianggapnya telah dijajah oleh kaum laki-laki.
Parahnya, dobrakan terhadap ajaran agama yang memang membedakan kedua jenis insan justru dilakukan oleh kaum Muslimin sendiri, utamanya mereka yang berpikiran liberal. Ajaran dalam Islam yang dinilainya telah mendiskriminasi kaum perempuan menjadi sasaran kritik. Lantas mereka menilai al-Qur’an berdasarkan pemahaman sendiri, sedangkan Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam diobok-obok. Sepertinya mereka protes dengan aturan agama itu dan ingin membuat syariat sendiri. Lantas, siapakah yang menjadi sasaran protes mereka sebenarnya? Tidak ada lain, ketika aturan agama menjadi bahan dari kajian yang telah dinilai diskriminatif, maka tentunya pembuat syariat itulah yang menjadi sasaran kritik mereka. Hanya saja, untuk mengatakan demikian, kadang mereka kurang berani, sehingga mereka belokkan pada para mufasir dan para pakar hukum Islam. Kemudian, dengan arogannya, mereka menuduh para ulama tersebut telah berlaku tidak adil, dengan mendistorsi pemahaman agama, seperti kitab ‘Uqûdul-Lujain dari Syekh Nawawi Banten. Rancunya, dengan bekal secuil pengetahuan, mereka lantas menampilkan pemahaman lain yang dianggapnya paling benar, meskipun mereka menganut aliran relativisme kebenaran. Anehnya, yang mereka perjuangkan justru pada tataran untuk memuaskan nafsu, seperti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kepemimpinan, warisan, dan hak untuk menceraikan. Mereka menolak ketetapan agama bahwa pemimpin harus dari kelompok laki-laki dan dalam aturan pembagian harta pusaka dengan dua banding satu. Akan tetapi, ketika bersentuhan dengan kepribadian mereka, justru mereka tidak pernah memperjuangkannya. Padahal, kalau kita tengok kembali, perbedaan hukum dua jenis insan ini tak lepas dari kemaslahatan manusia itu sendiri, utamanya perbedaan yang menyangkut psikologis dan pengaruh syahwat. Seperti halnya perbedaan dalam kewajiban menutup aurat. Kadang timbul pertanyaan tentang penbedaan antara aurat perempuan dan laki-laki, sehingga terkesan tidak ada keadilan dalam ketetapan syariat. Ternyata tidak demikian, justru perbedaan itu menjadi bukti bahwa ajaran Islam memang untuk kesejahteraan umat, guna mengangkat harkat wanita. Sebuah penelitian ilmiah mengungkapkan tentang riset ilmu anatomi (ilmu urai tubuh) yang membuktikan bahwa, dalam penciptaan-Nya Allah Subhânahu wa ta‘âlâ melengkapi semua manusia dengan sebuah sel yang disebut sel libido atau birahi. Sel tersebut berfungsi sebagai perangsang gairah seksual. Sel libido yang ada di dalam tubuh wanita dan pria ternyata diciptakan dengan bentuk yang berbeda. Ibarat gendrang, sel yang ada pada seorang pria bentuknya tipis, dan pada tubuh wanita tebal. Perbedaan ini berimplikasi pada munculnya rangsangan dari kedua sel yang berbeda pula. Karena sel pria tercipta dengan bentuk tipis, maka akan mudah bergetar ketika ada sesuatu yang menarik perhatian seksualnya. Ketika seorang pria melihat sesuatu yang menarik perhatian dari lawan jenisnya, sel libido di tubuhnya akan bergetar kuat menimbulkan frekuensi syahwat meningkat. Berbeda dengan wanita, akibat sel libido di tubuhnya tebal dan tidak mudah bergetar, maka ketika melihat seorang pria yang menutupi tubuhnya di bawah lutut dan di atas pusar, ia kurang bergairah. Di sinilah mengapa Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memerintahkan kaum Hawa untuk menutup semua anggota tubuhnya. Tak lain untuk menghindari ledakan emosi seksual pria yang tidak tahan akibat rangsangan wanita. Kaum hawa diminta untuk menjaga keistimewaan yang diberikan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ dengan cara menutup aurat sesuai tuntunan yang telah ditetapkan. Juga dalam salat misalnya, di mana dalam aturan fikih disebutkan ketika rukuk perempuan disunatkan untuk mengapitkan kedua tangannya dan mempertemukan sebagian paha dan perut untuk menyesuaikan struktur tubuh wanita, terutama bagian dada. Hal ini karena untuk menjaga kedua payudara yang menahan bungkuknya punggung dan dua pundak. Sementara laki-laki ketika rukuk disunatkan merenggangkan kedua siku dari lambungnya. Begitu pula dengan sujud, laki-laki merenggangkan kedua lengan sementara perempuan tidak. Laki-laki merenggangkan kedua pahanya, sedangkan perempuan tidak. Laki-laki tidak menempelkan perutnya ke paha, sementara perempuan menempelkannya. Begitu juga ketika imam dalam posisi salah, maka aturan bagi makmum yang ingin memperingatinya jika laki-laki dengan membaca tasbih, sedangkan perempuan dengan menepukkan punggung tangan kanan ke telapak tangan kiri. Hal ini disebabkan suara perempuan yang lemas dan cenderung merdu dapat memudarkan konsentrasi mushalli yang lain. Dalam hal ini, Islam bukan berarti melakukan diskriminasi. Dalam persoalan ibadah Allah Subhânahu wa ta‘âlâ tidak pernah memandang faktor psikis maupun fisik, karena yang dilihat adalah bagaimana seorang hamba dapat menjalankan ibadah dengan ikhlas, sehingga ibadahnya betul-betul dijadikan persembahan utama yang bersifat wajib sebagai seorang hamba kepada tuhannya. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam salat ini tidak bisa dilepaskan dari faktor fisik yang dimiliki keduanya. Sebab, laki-laki dan perempuan, walaupun sama-sama memiliki hormon testosteron, hanya saja kadar dari keduanya berbeda. Pada wanita, kadarnya lebih rendah. Akibatnya, pria relatif lebih agresif, otot lebih berisi, kuat, dan suara lebih besar. Semuanya tidak lepas dari fungsi hormon testosteron dari tubuhnya. Kadar hormon testosteron yang baik juga diperlukan untuk fungsi pembentukan sel benih pria (spesmatogenesis), dan produksi cairan sperma. Demikianlah, Islam nampak jelas sangat memperhatikan perbedaan antara kedua jenis kelamin, terutama dari struktur dan fungsi tubuh, bahkan kejiwaan. Artinya, agama dengan semua aturan yang berkaitan dengan hak antara laki-laki dan perempuan memiliki hikmah tersendiri. Tentunya, selain untuk menjaga kemaslahatan umat manusia, agama juga ingin mengatur agar manusia bisa tenteram hidup di dunia ini. Kita jangan berandai untuk mendekonstruksi ajaran agama yang telah kokoh hanya karena kita mempunyai nafsu. Setidaknya, dengan tidak mengenyampingkan hikmah yang terkandung di dalamnya, kita telah meletakkan penilaian terhadap agama secara proporsional.[*] (sumber: www.sidogiri.net)


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.