0

Benarkah Shafar Bulan Sial atau Nahas?

Minggu, 13 Mei 2012
Share this Article on :
Bulan Muharram 1433 H telah berlalu, kini saatnya kita memasuki bulan Shafar. Bulan Shafar adalah salah satu bulan Allah yang mulia, bukan bulan sial sebagaimana anggapan se¬bagian orang. Kita juga mengetahui bahwa Islam adalah agama yang selalu menaruh harapan baik terhadap kehidupan. Maka Islam mengajari kita untuk selalu bersikap optimistis dan menaruh harapan yang baik terhadap ke¬hidupan dan segala yang melingkupinya. Sebaliknya, ajaran Islam melarang kita meyakini sangkaan-sangkaan salah yang menyangkut kemalangan dalam kehidupan, sebagaimana keyakinan orang-orang Jahiliyah.
Memang, menurut beberapa riwayat seba¬gaimana yang disebutkan sebagian ulama, di bulan ini Allah SWT menurunkan berbagai Bala' dan cobaan serta musibah di bumi. Di antara kete¬rangan-keterangan ulama berkaitan dengan ini adalah bahwa di hari Rabu terakhir bulan Shafar turun Bala' yang sangat besar. Namun hal ini tidak berarti bulan Shafar adalah bulan Bala'. Secara keseluruhan, bulan Shafar sama saja dengan bulan-bulan yang lain. Jadi kete¬rangan itu tidak bertentangan dengan keyakin¬an bahwa semua bulan dan semua hari itu ada¬lah baik. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami. Pertama, musibah-musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah SWT. Bukan karena sesuatu yang lain dari makhluk-makhluk Allah SWT, melainkan semua itu sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Di dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22 dise¬butkan, yang artinya, "Setiap bencana yang me¬nimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sen¬diri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Al-Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya." Kedua, tidak berarti bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Karena, pada setiap bulan, termasuk bulan Shafar, terdapat atau terjadi hal-hal yang baik (menyenangkan) dan j uga hal¬hal yang buruk atau tidak menyenangkan. Jadi, keterangan yang menyebutkan bahwa pada bu¬lan Shafar turun berbagai musibah bukan ber¬arti bahwa bulan itu adalah bulan sial. Karena itu, untuk menghindari sikap pesimistis yang demikian, para ulama menyebut bulan Shafar dengan Shafar Al-Khayr (bulan Shafar yang baik). Allah SWT melarang kita untuk mengang¬gap hari atau bulan tertentu sebagai bulan sial atau membawa kesedihan atau yang lain. Se¬mua bulan adalah sama, yaitu bulan-bulan Allah SWT. Setiap bulan yang di situ seorang mukmin mengerjakan kebaikan dan beribadah, bulan itu adalah bulan yang membawa berkah baginya. Setiap waktu yang dibuat seseorang untuk mengerjakan maksiat, waktu tersebut adalah waktu yang membawa kesialan dan dosa. Jadi hakikat kesialan adalah maksiat ke¬pada Allah SWT. Dalam hadits yang diriwayat¬kan Ibnu Mas'ud RA dikatakan, "Jika kesialan terdapat pada sesuatu, ia ada di lidah." Karena, lidah adalah salah satu indra manusia yang se¬ring digunakan untuk bermaksiat. 'Adiy bin Hatim juga berkata, "Beruntung dan sialnya se¬suatu itu tergantung pada lidahnya." Dalam sebuah hadits dari Ali RA dikatakan, "Bersegeralah untuk bersedekah. Sesungguhnya Bala' tidak akan melewatinya." (HR Ath-Tha¬barani). Dalam hadits lain dikatakan, "Sesung¬guhnya pada tiap-tiap hari terdapat musibah, maka tolaklah musibah itu dengan sedekah." Sebagian orang menganggap bahwa bulan Shafar adalah bulan pembawa sial, sehingga menanggalkan bepergian di bulan ini. Padahal hal tersebut adalah perbuatan yang termasuk syirik, yang dilarang oleh syari'at. Selain per¬buatan tersebut dilarang di bulan Shafar, juga dilarang di bulan-bulan atau hari-hari lain, se¬perti Syawwal atau hari Rabu. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Barang siapa menanggalkan suatu perjalanan karena pesimistis (bekeyakin¬an akan sial), ia telah melakukan perbuatan syirik." Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak ada penularan (penyakit), tidak ada llai,yarah, tidak ada hamah, dan tidak ada Shafar." Lalu seorang dusun bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan unta yang sehat yang kemudian dicampuri unta yang berkudis, sehingga membuatnya berkudis juga?" Maka Rasulullah SAW berkata, "Lalu siapa yang menulari yang pertama?" Thiyarah adalah mengambil tanda-tanda ke¬malangan (kesialan) dengan menggunakan nama-nama burung, warnanya, dan arah pergi¬nya, meskipun tidak dibuat lari (terbang). Sedang hamah adalah burung hantu. Orang¬orang Jahiliyah meyakini bahwa, bila burung hantu mengitari rumah salah seorang di antara rumah mereka, orang tersebut atau salah se¬orang anggota keluarga yang menghuni rumah itu akan mati. Maka maksud "tidak ada ha¬mah"adalah tidak ada tanda-tanda kemalangan (kesialan) dengan burung hantu. Adapun "tidak ada Shafar" artinya tidak ada Shafar yang diakhirkan dari waktunya. Dahulu orang-orang Arab mengakhirkan Muharram ke Shafar. Maksudnya, mereka meyakini adanya kemalangan dengan masuknya bulan Shafar, karena mereka membayangkan bahwa di da¬lam bulan itu terdapat banyak bencana. Maka pengertian "tidak ada Shafar" adalah tidak ada kesialan dengan masuknya bulan tersebut. Pernikahan Mulia di Bulan Shafar Bukti nyata pernyataan Baginda Rasul tersebut adalah pernikahan putri beliau Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali yang dilangsungkan pada bulan Shafar, lima bulan setelah gadis cantik itu hijrah. Sekelumit kisah pernikahan dan periode awal rumah tangga agung itulah yang akan diceritakan pada edisi kali ini, untuk menyemarakkan kedatangan bulan Shafar Al-Khair. Sayyidah Fathimah menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat usianya menginjak usia delapan belas tahun. Sebelumnya, Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khaththab pernah mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW, tetapi ditolak secara halus. Saat Imam Ali meminang Sayyidah Fathimah, dalam hadits yang diriwayatkan lkrimah, Rasulullah SAW bertanya, "Apa yang engkau miliki untuk mahar?" "Aku tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan sebagai mahar, ya Rasul," jawab Sayyidina Ali sambil tertunduk. Sambil tersenyum Rasulullah ber¬sabda, "Bukankah engkau mempunyai sebuah baju besi pemberianku?" Sayyidina Ali menjawab, "Ya, aku punya." Pahlawan muda Islam itu pun lalu memberikan baju besi kesayangannya se¬bagai mahar bagi Sayyidah Fathimah. Sayyidina Ali juga men¬jual seekor unta dan sebagian hartanya dengan nilai 480 dirham, untuk dibelikan wewangian dan barang kebutuhan rumah tangga. Pernikahan Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali dirayakan dengan sederhana. Jamuannya makanan dari gandum dan daging domba, sumbangan orang-orang Anshar. Pada malam pemikahan mereka, menurut Buraidah, Rasul¬ullah SAW meminta bejana dan berwudhu dari bejana itu kemudian menuangkan airnya ke tubuh Sayyidina Ali. Kemudian, beliau berkata, "Ya Allah, berkahilah mereka beserta ke¬turunannya, dan limpahkanlah karunia¬Mu atas mereka." Hari-hari seusai pernikahan dilalui ke¬luarga muda itu dengan penuh keseder-hanaan. Mereka tidur di atas kulit domba dengan bantal berisi jerami. Perabot rumah tangga yang dimiliki putri Rasulullah itu hanya alat penggiling gandum, bejana air, dan dua kantung kulit dari air. Sayyidah Fathimah bahkan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri. Suatu hari Sayyidina Ali berkata kepada Sayyidah Fathimah, "Demi Allah, aku telah menimba air sampai dada¬ku sakit. Allah telah memberikan kepada ayahmu tawanan perang, pergi dan minta¬lah kepada beliau seorang pelayan." Sayyidah Fathimah pun berkata, "Demi Allah, aku juga telah menumbuk gandum sampai ta¬nganku lecet." Kemudian, Sayyidah Fathimah berangkat me¬nemui Rasulullah. Namun, ketika sampai di hadapan ayahandanya, dia merasa segan mengemukakan maksudnya. Sayyidah Fathimah pun akhirnya pulang kembali de¬ngan tangan hampa. Setiba di rumah, Sayyidina Ali membujuk istrinya lagi untuk kembali menghadap Rasulullah. Sayyidah Fathimah enggan, kecuali jika sang suami mau menemaninya. Akhirnya, pasangan shalih itu menghadap Rasulullah SAW lagi dan mengutarakan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW menolak permintaan mereka. Sayyidah Fathimah dan suami¬nya pulang dengan tangan hampa. Pada malam harinya, saat keduanya sudah akan tidur, Rasulullah mendatangi mereka. Saat mereka akan bangkit, Rasul¬ullah melarangnya. Beliau bersabda, 'Te¬taplah di situ. Maukah kalian kuajari se¬suatu yang lebih baik dari yang kalian min¬ta tadi siang?" 'Tentu saja," jawab keduanya bersa¬maan. "Sesuatu itu adalah beberapa kalimat yang diajarkan Jibril kepadaku. Setiap selesai shalat, ucapkanlah sub-hanallah sepuluh kali, Alhamdulillah sepuluh kali, dan Allahu akbar sepuluh kali. Dan ketika kalian beristirahat di tempat tidur, ucapkan¬lah Sub-hanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 33 kali," sabda Baginda Nabi. Demikianlah, rumah tangga yang ber¬awal di bulan Shafar itu sangat berlimpah keberkahan, meski tak kaya harta. Dari per¬nikahan yang berlangsung selama sebe¬las tahun itu, lahir beberapa anak: Al-Hasan, Al-Husein, Muhassin (wafat masih kecil), Ummu Kultsum, dan Zainab. Dari keturunan merekalah, lahir para pembela dan penyebar agama Allah ke seluruh du¬nia, hingga saat ini. Sayyidah Fathimah wafat, enam bulan setelah ayahandanya berpulang. Semoga rahmat dan keridhaan Allah senantiasa menyertai mereka dan keturunan mereka. Amin. Imam Ibnu Hajar asy Syafi'i tentang hari Nahas Al Imam Ibnu Hajar al Haitami pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan. Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah. Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah) Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah. Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja. Misteri Rabu Wekasan (Rabu akhir Bulan Shafar) Lalu bagaimana dengan Rabu wekasan yang sering kita dengar bahwa pada hari itu adalah hari yang penuh bala dan musibah, bahkan bala selama setahun penuh diturunkan pada hari Rabu tersebut? Ketahuilah bahwa tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Rabu akhir Shafar adalah hari nahas atau penuh bala. Pendapat di atas sama sekali tidak ada dasaran dari hadits Nabi Muhammad yang mulia. Hanya saja disebutkan dalam kitab Kanzun Najah wa as Suruur halaman 24, sebagian ulama Ahl Kasyf (ulama yang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang samar) berkata: “Setiap tahun turun ke dunia 320.000 bala (bencana) dan semua itu diturunkan oleh Allah pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka hari itu adalah hari yang paling sulit.” Pendapat tersebut diatas, sama sekali tidak memiliki dasar hadits yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itu, jangan pesimis dan merasa ketakutan jika menghadapi Rabu wekasan. Sekali lagi harus diingat bahwa yang menurunkan bala’ dan membuat kemanfaatan atau bahaya adalah Allah SWT dan atas kehendakNya, bukan karena hari tertentu atau perputaran matahari. Perlu diingat pula, perilaku pesimis yang diakibatkan adanya sesuatu, sehingga meninggalkan pekerjaan atau bepergian karena hari tertentu misalnya atau karena adanya burung tertentu lewat ke arah tertentu, itu dinamakan thiyarah dan thiyarah ini jelas-jelas diharamkan karena itu adalah kebiasaan orang jahiliyah. Bahkan kalau kita mau bersikap obyektif, ternyata hari Rabu adalah hari yang penuh keberkahan. Seperti diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dalam Syu’ab al Iman bahwa doa dikabulkan pada hari Rabu setelah Zawaal (tergelincirnya matahari), Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdillah, bahwa Nabi Muhammad SAW mendatangi masjid al Ahzab pada hari Senin, Selasa dan Rabu antara Dzuhur dan Ashar, kemudian beliau meletakkan serbannya dan berdiri lalu berdoa. Jabir berkata: “Kami melihat kegembiraan memancar dari wajah beliau.” Demikian disebutkan dalam kitab-kitab sejarah (Kanzun Najah wa al Surur 36) Kalau kita menganggap bahwa hari Rabu wekasan adalah hari penuh bala, lalu bagaimana dengan hari lainnya? Padahal Allah jjika hendak menurunkan azab atau bala tidak akan menunggu hari-hari tertentu yang dipilih dan ditentukan oleh manusia. Tapi Allah dengan kekuasaannya dapat bertindak dan berbuat sekehendak-Nya. Maka seharusnya kita waspada dengan kemurkaan Allah setiap hari dan setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan bala itu akan turun. Maka perbanyaklah istighfar, bertaubat dan mengharap rahmat Allah, sebagaimana Rasulullah beristighfar seratus kali setiap hari. Inilah teladan kita, tidak menunggu Rabu wekasan saja untuk istighfar dan bertaubat. sumber:www.madinatulilmi.com


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.